Pakar hukum tata negara Yusril Ihza Mahendra telah berulang kali memenangkan gugatan judicial reviewmelawan pemerintah di Mahkamah Konstitusi (MK). Yusril mengungkapkan kondisi ini menunjukkan bahwa banyak peraturan perundang-undangan di Indonesia yang tidak sesuai dengan konstitusi.
“Jadi mereka lebih banyak mengedepankan kepentingan politik daripada bagaimana norma-norma ideal konstitusi itu harus diterapkan dalam kehidupan bernegara,” kata Yusril, kepadaRepublika.co.id, Ahad (23/7).
Yusril mencontohkan dalam penyusunan Undang-Undang Pilpres yang lalu, khususnya tentang syarat-syarat calon presiden. Waktu itu, banyak fraksi di DPR RI yang menghendaki syarat calon presiden minimal Strata 1 (S-1). Namun, PDIP yang paling keras menolak.
Menurut Yusril, penolakan ini lantaran PDIP punya kepentingan untuk mengajukan Ketua Umum Megawati Soekarnoputri sebagai calon presiden waktu itu. Jika syarat calon presiden berpendidikan minimal S1, kata Yusril, Megawati tidak akan bisa maju.
“Jadi biasanya yang gitu-gitu kalau di tingkat MK akan dikalahkan karena menyusun UU itu harus betul-betul merupakan implementasi dari norma-norma dalam konstitusi, bukan mengatur kepentingan,” ungkap dia.
Sama halnya, tutur Yusril, aturan presidential threshold 20-25 persen di dalam UU Pemilu yang baru saja disahkan DPR RI pada Kamis (20/7) kemarin. Yusril menilai aturan ini mengedepankan kepentingan kelompok tertentu.
Partai-partai pendukung pemerintahan Jokowi-JK menghendaki hasil pemilu 2014 digunakan untuk mengajukan calon presiden tahun 2019, dengan threshold 20-25 persen. Yusril menilai aturan ini akan memunculkan skenario calon tunggal.
“Itu yang saya mau bantah dalam persidangan di Mahkamah Konstitusi. Kelihatannya, Jokowi mau menang sendiri tidak ada lawan, makanya ciptakan aturan supaya orang lain tidak bisa maju. Yang sekali ini memang nuansa kepentingan politiknya kuat sekali,” ujar Yusril.
Yusril menuturkan, masalah ini sebenarnya sudah pernah dia uji materikan ke Mahkamah Konstitusi pada 2014. Ia meminta MK memutuskan bahwa presidential threshold bertentangan dengan pasal 6a ayat 2 dan pasal 22 e ayat 3. Jawaban MK pada waktu itu tidak menolak atau mengabulkan, melainkan tidak ada putusan.
Baca Juga:
Mahkamah Konstitusi pada saat itu menyatakan tidak berwenang menafsirkan perkara tersebut, kecuali ada undang-undang yang bertentangan dengan itu. Dengan adaya putusan pemilu serentak, menurut Yusril, kini MK berwenang karena putusan pemilu serentak tidak memungkinkan adanya threshold.
Bicara soal sepak terjangnya, mantan Menteri Kehakiman dan HAM ini mengaku tak ingat lagi berapa banyak judicial review-nya yang pernah dikabulkan MK. Yang pasti, sudah berulang kali. “Wah, sayanggak ingat. Nggak pernah ngitung-ngitung. Sebelum-sebelumnya banyak sekali yang saya bawa ke MK jadi saya tidak ingat lagi,” ucap Yusril.
Selain judicial review Undang-Undang Pemilu, saat ini Yusril juga sedang menangani judicial review Perppu No 2 Tahun 2017 tentang Ormas. Uji materi terkait Perppu ini sudah didaftarkan ke MK oleh Hizbut Tahrir Indonesia (HTI) dan tinggal menunggu sidang perdana. “Perppu sudah didaftarkan kemarin. Tapi sampai sekarang belum dimulai sidangnya. Saya mau dengar pendapat hakim,” kata dia.