Oleh : dr. Roy Tanda Anugrah Sihotang, MARS
Dinasti politik hadir di seluruh dunia, bahkan di negara-negara yang dianggap sebagai “kiblat” demokrasi di dunia. Negara demokrasi yang mapan seperti Amerika Serikat yang memiliki keluarga Kennedy dan Bush, Yunani kita mengenal keluarga Venizelos dan Mitsotakis, keluarga Kirchners dan Rodríguez Saás di Argentina, Allendes di Chile, keluarga López di Kolombia, keluarga Arosamenas di Ekuador, keluarga Batlles di Uruguay, Keluarga Nehru-Gandhi di India, keluarga Bhuto di Pakistan, dan keluarga Bongo Odimba di Gabon, hanyalah beberapa contohnya.
Melihat sebarannya di berbagai negara di dunia, memperlihatkan bahwa “dinasti politik” bukan merupakan hal baru dalam ranah diskursus demokrasi di Dunia.
Diskursus mengenai dinasti politik ini menarik untuk diangkat karena pro dan kontra yang mramaikan media massa, terkait keputusan Mahkamah Konstitusi yang dinilai membuka peluang Politik Dinasti Joko Widodo di Indonesia. Pro dan kontra yang terjadi ini menarik penulis untuk ikut memberikan pandangan terkait dinasti politik dalam ranah diskursus demokrasi.
Dalam mengukur keadaan demokasi di negara – negara dunia, lazim digunakan Indeks Demokrasi (Democaracy Index), dimana dalam penilaian digunakan 5 kategori, yaitu kebebasan sipil, budaya politik, partisipasi politik, berfungsinya pemerintahan, dan budaya politik. Pada tahun 2022, berdasarkan Index Democracy, Norwegia yang merupakan negara Monarki Konsitutsional Parlementer, berada pada posisi teratas. Posisi kedua ditempati Selandia Baru, sebagai bagian dari negara commonwealth, juga merupakan negara dengan sistem pemerintahan Monarki Konstitusional Parlementer. Kedua negara tersebut diatas yang menjadi 2 negara terbaik dalam indeks demokrasi, memiliki sistem pemerintahan monarki konstitusional parlementer, dimana kepala negaranya tidak dipilih, melainkan diwariskan secara turun temurun, sebagai ahli waris raja, dengan kata lain, didalam kedua negara ini terdapat “dinasti politik” dalam hal kepala negara.
Berikutnya, pada posisi ke 3 besar ada Islandia (Iceland) yang merupakan republik dengan sistem multipartai, Yang menarik, islandia sebagai negara dengan index demokrasi nomer 3 di dunia, bisa dikatakan didominasi oleh dinasti politik, misal Hermann Jonasson Perdana Menteri Islandia periode 1934 – `1942, merupakan ayah dari Steingrímur Hermannsson, yang merupakan Perdana Menteri Islandia periode 1988 – 1991. Anak dari Steingrímur Hermannsson, yaitu Guðmundur Steingrímsson juga menjadi anggota parlemen Islandia.
Dari penjabaran diatas, dapat kita lihat Politik dinasti, bukan merupakan tanda dari kondisi yang tidak sehat atau adanya ketimpangan dalam demokrasi.
Dari penjabaran diatas pun kita bisa memaknai bahwa politik dinasti tidak terkesan memiliki makna yang “tidak baik” (konotatif), tapi memiliki makna yang “baik” (denotative), dimana negara-negara dengan sistem politik monarki konstitusional yang melanggengkan Politik Dinasti dalam sistem pemerintahannya, atau negara dengan sistem republik multi partai yang didominasi oleh dinasti politik keluarga, menjadi negara yang menjadi contoh penerapan demokrasi yang sangat baik.
Kebebasan sipil, proses pemilu (electoral proses) dan pluralisme, budaya politik, partisipasi politik, dan berfungsinya pemerintahan, layaknya menjadi ukuran objektif dalam menilai kondisi penerapan demokrasi dalam sebuah negara. Penentu terpilihnya seorang pemimpin pemerintahan dalam sebuah sistem demokrasi, tetap rakyat, yang mana dipastikan dari 5 kategori penilaian Indeks Demokrasi diatas.
Siapapun dan dari latarbelakang keluarga manapun, harus memiliki peluang yang sama dalam sistem demokrasi. Terutama di Indonesia, proses pencalonan pun harus melalui Partai Politik dan atau Gabungan Partai Politik dengan Presidential Tresshold sebagai representasi demokrasi perwakilan. Terlebih lagi, pasangan calon Presiden dan Wakil Presiden harus melalui tahapan Pemilihan Umum langsung, dimana rakyat sebagai penentu utama dalam proses ini.
Keinginan untuk mengabdi dan berbakti bagi Tanah Air, Bangsa dan Negara janganlah kita pertentangkan dengan narasi politik Dinasti dan sejenisnya. Dalam Demokrasi rakyat lah yang berkuasa, rakyat yang memilih pemipinnya.
Baca Juga:
Kita harus membuka ruang seluas – luasnya sehingga setiap warga negara apapun latar belakangnya memiliki kesempatan sama dalam demokrasi electoral.
Meminjam pernyataan bapak Prabowo Subianto Djojohadikusumo, tentang Dinasti Patriot dan Dinasti Merah Putih, mari kita sama – sama berharap narasi Politik Dinasti tidak lagi dibesarkan untuk mengganjal seorang calon. Selama tujuannya adalah berbakti bagi bangsa dan negara, patriotik dan merah putih, sudah selayaknya kita dukung Bersama. Mari dalam pemilihan umum 2024 mendatang, kita memfokuskan diri kita melihat program dan gagasan yang ditawarkan oleh para capres dan cawapres untuk Indonesia di masa depan.
Melalui tulisan ini, kami dari persaudaraan 98, mengajak semua pihak menghargai dan menghormati keputusan Mahkamah Konstitusi, dan tidak lagi menjadikan terminologi Politik Dinasti untuk menyerang keputusan MK dan capres dan cawapres tertentu. Terkait narasi Politik Dinasti yang berkembang, kami Persaudaraan 98, berkewajiban memberikan narasi – narasi edukatif dan bnerkomitmen menjadikan Pemilu sebagai ruang Pendidikan Politik bagi rakyat Indonesia.***
* Dokter, Aktivis Persaudaraan 98 – KA KBUI 98