Mewujudkan Demokratisasi Hubungan Sipil-Militer Indonesia melalui Wajib Militer: Sebuah Sintesis Hukum, Budaya, dan Pembelajaran

Medan -Hubungan antara sipil dan militer di Indonesia telah lama diwarnai oleh dikhotomi struktural dan ideologis, warisan dari era Orde Baru yang mengukuhkan doktrin Dwifungsi. Doktrin ini tidak hanya melegitimasi peran politik dan ekonomi Tentara Nasional Indonesia (TNI) tetapi juga menciptakan budaya saling curiga.
Demikian Shohibul Anshor Siregar kepada Ismail Nasution dari SUMUT24 dalam wawancara by phone menyikapi kontroversi revisi UU TNI.
Dikatakan oleh dosen FISIP UMSU ini, sipil memandang militer sebagai sisa otoritarianisme, dan selalu menganggapnya memiliki potensi untuk terus mengkapitalisasi peluang dan kesempatan mengembangkannya hingga nyaris tanpa batas. Sedangkan militer, dengan pandangan subjektifnya sendiri, selalu meragukan kompetensi sipil dalam urusan pertahanan.
"Padahal dalam kesejatian konstruk dan konsepsi pertahanan Indonesia yang dibangun di atas doktrin pengandaian optimum kekuatan semesta tak akan pernah dapat difahami tanpa peniscayaan prasyarat mobilisasi semua sumberdaya. Militer Indonesia pun, sebagaimana POLRI, tak dapat abai tentang klaim diri sebagai tantara rakyat, lahir dari rakyat", jelasnya.
Menreview Sejarah, Shohibul Anshor Siregar mengingatkan, bahwa "memang, sebagaimana sejarah telah membutikan, setiap pemberian respon kolektif atas berbagai ancaman eksistensial dalam berbagai skalanya, rakyatlah yang menjadi pertahanan itu. Profesionalisme yang dibangun untuk TNI memang berkonsekuensi mempertipis makna konsep dan slogal tantara rakyat. Namun justri profesionalisme inilah yang acap bertransformasi dengan hasil yang amat sulit diukur, maju atau mundur".
Ditambahkannya, bahwa dikhotomi ini diperparah oleh narasi kultural seperti epik Jawa Barata Yudha yang memuliakan perang sebagai dharma (kewajiban suci), serta trauma sejarah kolonial yang menanamkan ketakutan akan ancaman asing, termasuk kisah-kisah pertempuran pada masa Perang Dunia I dan II.
Selain itu, ia menolak persepsi yang membandingkan militer Indonesia dengan militer dari bangsa-bangsa besar adidaya dunia yang oleh berbagai kalangan kerap dijadikan sebagai bencmarking atau perbandingan.
"Jika dalam perang Dunia I dan II Indonesia tidak dapat dijejaki sebagai faktor sekecil apa pun, maka pertanyaan serius yang muncul ialah bagaimana mengukur profesionalisme dan kemampuan TNI? Ada pertempuran dengan diri sendiri yang terdiri dari berbagai perang saudara dalam episode-episode separatisme, selain yang belakangan dengan Aceh dalam DOM I dan II, termasuk dalam melayani order global untuk perlakuan terhadap Timor Timur dan kecanggungan praktik kemiliteran di Papua", kritik Shohibul Anshor Siregar.
Baca Juga:
Seseorang mungkin akan mengingatkan bahwa pasukan Indonesia cukup kerap hadir sebagai kekuatan di bawah bendera PBB. Tetapi itu bukan pertempuran, karena berapa pun pihak yang bertikai yang dihadapi pasukan Indonesia atas mandat PBB itu, mereka sebetulnya tertap dijauhkan dari letusan senjata.
Ilusi profesionalisme TNI hanya dibangun oleh kerangka berfikir global yang tunduk pada dinamika percaturan perebutan kekuasaan yang di antara dimensi terpentingnya ialah industri persenjataan yang diperlombakan untuk dikonsumsi oleh negara Indonesia.
Pertahanan berorientasi prosperity atau pertahanan dengan memamah persepsi dan dinamika kekuatan negara adi daya yang berjualan teknologi alutsistakah yang memperburuk profesionalisme TNI saat ini?, pungkas Shohibul Anshor Siregar.res2