MEDAN, Halomedan.co
Setelah sebelumya sempat dilarang, lobster kembali terbuka untuk ditangkap dan kran ekspornya juga ikut dibuka. Lobster yang diperbolehkan untuk ditangkap di alam dan untuk diekspor yakni Benih Bening Lobster (Puerulus).
Kebijakan itu diteken pada tanggal 4 Mei 2020 oleh Menteri Kelautan dan Perikanan, Edhy Prabowo. Melalui Keputusan Menteri Kelautan dan Perikanan Nomor 12/PERMEN-KP/2020 (Kepmen 12/PERMEN-KP/2020), Edhy Prabowo menganulir Keputusan Menteri Kelautan dan Perikanan periode 2014-2019 Susi Pudjiastuti, bernomor 56/PERMEN-KP/2016.
Kembali terbukanya kran ekspor benih lobster, menurut Sekretaris Jenderal Serikat Nelayan Indonesia (SNI), Budi Laksana, tidak akan membuat nelayan untung bahkan nelayan tetap sebagai produsen pangan yang dirugikan. Bongkar-pasang kebijakan ini juga menyisakan pertanyaan bahkan kebingungan di arus bawah khususnya nelayan kecil.
Hal tersebut juga membuktikan tidak ada Rencana Pengelolaan Lobster (RPP Lobster) yang sungguh-sungguh yang dilakukan pemerintah Indonesia. “Dengan disahkannya Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan Nomor 12 Tahun 2020, mendorong para nelayan pencari lobster hanya sebagai tenaga tanpa mengetahui dan bisa mengakses harga bening lobster ditingkat perusahaan,” kata Budi Laksana, Rabu (15/7/2020).
Budi mengatakan, meski harga bening lobster dihargai Rp 5.000/ekor dan ada sanksi pencabutan izin perusahaan eksportir jika harga pencari benih lobster di bawahnya, namun yang jadi pertanyaannya bagaimana mekanisme penyelesaian harganya. Seperti data pihaknya, harga yang diperoleh oleh para nelayan pencari benih lobster di daerah Cianjur Pantai Selatan Jawa Barat rata-rata yang diterima nelayan hanya Rp 1.500 untuk satu ekor benih lobster jenis pasir dan mutiara.
Menurut Budi, tidak hanya benih lobster, namun semua komoditi perikanan. Baik yang tangkap dan budidaya, para nelayan tidak mengetahui harga yang sejauh ini masih dimonopoli oleh pengepul dan perusahaan.
Dengan alasan menjaga keberlanjutan ketersediaan sumber daya perikanan, peningkatan kesejahteraan masyarakat, kesetaraan teknologi budidaya, pengembangan investasi, peningkatan devisa negara, serta pengembangan pembudidayaan lobster, maka sumberdaya benih bening dan benih muda lobster diperbolehkan untuk ditangkap dan diekspor.
Memang Kepmen 12/PERMEN-KP/2020 secara tersirat mendorong nelayan kecil yang terdaftar dalam kelompok nelayan sebagai produsen/penyedia utama lobster di hulu agar (dengan harapan) kesejahteraan mereka meningkat. Namun jika penangkapan benih lobster dilegalkan kemudian secara serampangan pencarian dilakukan maka sumber daya benih lobster akan semakin habis. Lalu siapa yang diuntungkan perusahaan atau kelompok nelayan yang kemudian banyak perusahaan berbondong-bondong mencari KTP nelayan dalam melegitimasi perusahaan dalam membina nelayan.
Baca Juga:
Dikatakan Budi, janji manis itu terlihat makin jauh untuk nelayan kecil ketika mencermati definisi nelayan kecil. Dalam Keputusan Direktur Jenderal Perikanan Tangkap Nomor 48/KEP-DJPT/2020 Tentang Petunjuk Teknis Pengelolaan Benih Bening Lobster sebagai turunan dari Kepmen 12/PERMEN-KP/2020 definisi nelayan kecil tidak konsisten dengan definisi nelayan kecil pasal 1 poin 4 UU 7/2016 Tentang Perlindungan dan Pemberdayaan Nelayan, Pembudi Daya Ikan, dan Petambak Garam.
“Penting memang pengelolaan benih loster dalam negeri. Bukan hanya jangka pendek tetapi keuntungan jangka panjang dengan melibatkan nelayan pencari lobster sebagai steakholder yang tidak terpisahkan dalam jalur distribusi dan perdagangannya. Jangan nelayan hanya diupah sebagai tenaganya saja, tapi bisa sejajar dalam kerangka bisnis benih lobster. Juga jangan selalu mengistemewakan perusahaan eksportir karena selama ini juga tidak ada dampaknya langsung kepada nelayan,” kata Budi.
Merujuk pada perkembangan kebijakan penangkapan dan ekspor benih bening lobster ini, SNI pun memiliki beberapa catatan diantaranya Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) harus benar-benar konsisten membela dan memperjuangkan hak-hak nelayan kecil sebagai produsen pangan baik sumberdaya ikan yang ditangkap maupun dibudidayakan sebagaimana Undang-Undang Perlindungan dan Pemberdayaan Nelayan, Pembudidaya Ikan dan Petambak Garam Nomor 7 Tahun 2016.
“KKP tidak boleh mengatasnamakan nelayan kecil untuk kepentingan pengusaha eksportir. Tetapi para nelayan hanya tenaganya yang diekploitasi tanpa diberikan kesempatan,” kata Budi.
Selanjutnya, KKP dan instansi yang terkait harus melibatkan kelompok dan organisasi nelayan baik di tingkat pusat maupun daerah dalam penetapan harga perikanan tertinggi dan terendah yang berpihak pada nelayan. Juga perlunya disusun rencana pengelolaan perikanan lobster yang melibatkan kelompok nelayan dan organisasi nelayan dengan basis data dan hasil penelitian yang akurat. (red)